MAHIDIN POHAN: SEORANG PEJUANG 45
Masa Kecil
Mahidin Pohan lahir di kota kecil, Sipirok, Tapanuli Selatan pada tahun 1926. Dia lahir sebagai anak kedua dari delapan bersaudara.
Sebelum menjadi tentara Jepang, dia sejatinya bernama Makdin atau Makdin Pardede. Nama Mahidin Pohan diisbatkan padanya setelah dia resmi mendaftar jadi tentara Jepang tahun 1943.
Di masa kecil, Mahidin Pohan sebetulnya punya bakat bisnis, mungkin dia peroleh dari kedua orangtuannya yang pedagang. Di usia yg masih belia, 14 tahun, dia bahkan telah diutus memimpin rombongan pedagang ke Kota dingin, Siborong-borong, yang berjarak kurang lebih 100 km dari kota asalnya, Sipirok. Mereka datang dengan menunggang kuda untuk memasok kebutuhan logistik tentara Belanda di kota itu.
Ketika itu nampaknya Mahidin Pohan muda belum punya kesadaran tentang imperialisme, kolonialisme dan penindasan. Kehadiran Belanda di Siborong-borong, dalam pandangan remaja 14 tahun itu barangkali masih dilihat sebagai mitra bisnis biasa yang bersifat saling menguntungkan. Lagi pula, di desanya dia sudah biasa berhubungan dengan orang belanda dalam bentuknya yang ramah, penginjil dan guru-guru di sekolah adventis.
Baginya, kesadaran akan kolonialisme dan panggilan untuk membela tanah air justru muncul pada masa Jepang. Tentara Jepang yang mengaku sebagai "Saudara tua " itu begitu pandai menarik simpati kaum muda tapanuli dan menumbuhkan semangat bela negara.
Zaman Penjajahan Jepang
Saudara lelaki tertuanya, Timbul Pardede, lebih dulu mendaftar jadi tentara Jepang dan langsung ditugaskan di Medan. Berapa waktu kemudian, Mahidin Pohan ikut bergabung dengan tentara Jepang dan juga ditugaskan di Medan.
Di Kota Medan, dia tentu saja bertemu dengan abangnya, Timbul Pardede. Menurut cerita, hubungan kedua orang ini ibarat kucing dan tikus. Mereka selalu cekcok dan bahkan tidak jarang beradu fisik. Meski Timbul tinggi besar dan sangat disegani di lingkungannya, Mahidin Pohan nampaknya tidak bersedia mengalah. Watak keras keduanya membuat mereka selalu bersaing dan tidak pernah berdamai.
Nuansa persaingan di antara abang-beradik ini terus terbawa sampai di Tanah Deli. Menyadari sang adik mendapat pangkat lebih tinggi, Timbul Pardede merasa kecil hati. Singkat cerita, Timbul Pardede tidak lagi betah berada di Medan. Lalu, dia memutuskan untuk desersi dari pasukan.
Setelah desersi, Timbul Pardede bergabung dengan laskar “Harimau Liar.” Pada zaman revolusi sosial di Sumatera Timur, Timbul Pardede dan pasukannya sempat bertempur dengan pasukan Mahidin Pohan yang tengah mengamankan keluarga bangsawan dari pembantaian massa di Rantau Prapat.
Timbul Pardede meninggal secara tragis di sebuah desa kecil di kaki Bukit Barisan. Sebuah desa perlintasan pejuang yang hingga kini hanya dapat diakses melalui jalan setapak. Ketika sedang mandi, dia dibantai secara pengecut oleh bekas penjagal Jepang bernama Jalatong. Kepalanya terpisah dari badan dan kuburannya ditemukan bertahun-tahun kemudian.
Indonesia Merdeka dan Agresi Belanda
Di Medan, Mahidin Pohan menjalankan tugas sebagai tentara Jepang. Tidak terdengar cerita tentang adanya perselisihan antara tentara pribumi dan tentara Jepang. Dia bahkan cukup disukai Jepang karena bakat militer dan kecepatannya dalam menguasai bahasa Jepang.
Setelah Jepang hengkang dari Indonesia, pemuda pejuang segera berhadapan langsung dengan Sekutu yang diam-diam membonceng masuk tentara NICA Belanda ke Indonesia. Dalam periode ini, Mahidin Pohan beberapa kali berpindah tugas antara lain di Kota Pinang, Rantau Prapat, Bagan Siapi-api, Pematang Siantar, Sidikalang, dan Medan.
Tertembak Belanda
Suatu ketika dalam sebuah operasi di pagi subuh, pasukan TKR di bawah komando Mahidin Pohan melakukan kontak senjata dengan Belanda di sekitar batas demarkasi. Peristiwa itu terjadi di seberang jembatan Marindal, tepat di depan kantor PTP.
Pasukan TKR mencoba merangsek masuk ke wilayah musuh. Serangan kilat pada dini hari itu berhasil menewaskan sejumlah tentara Belanda. Dia menyaksikan tentara Belanda jatuh bergelimpang diterjang peluru dari “sinapang masin” di tangannya.
Namun, dominasi TKR tidak berlangsung lama. Bala bantuan tentara Belanda segera datang. Dengan jumlah yang lebih besar, Belanda berhasil memukul mundur pasukan TKR. Dua anggota TKR tewas dalam baku tembak. Mahidin Pohan sendiri tertembak di bagian lengan. Peluru tajam menembus pergelangan tangan kirinya.
Dalam rangkaian pertempuran sepanjang hari itu, banyak pejuang yang tewas. Salah satunya adalah Martinus Lubis. Hari itu merupakan hari bersejarah. Di kemah perawatan, Jasad Martinus Lubis terbaring kaku. Di sebelahnya, Mahidin Pohan bertahan hidup dengan urat nadi yang terus mengucurkan darah.
Belanda Pergi, Tentara Pulang Kampung
Luka tembak di lengan kiri cukup parah. Bagian pergelangan tangannya nyaris putus. Namun Pemuda lajang itu sangat bersyukur mengetahui lengan kirinya batal diamputasi.
Bangsa Indonesia terus melakukan perlawanan terhadap agresi Belanda. Pemuda di seluruh nusantara dengan heroik melakukan perlawanan bersenjata. Aksi militer dikombinasi dengan strategi diplomasi di tingkat internasional akhirnya berhasil mengusir penjajah Belanda dari bumi pertiwi. Mahidin Pohan diberi cuti dan kembali ke kampung halaman.
Dalam pada itu, Tentara Belanda telah meninggalkan Keresidenan Tapanuli dan Sumatera Timur. Di kampung halaman, Mahidin Pohan menjalani hidup sebagai rakyat sipil biasa. Mendengar abangnya telah tewas, bukan main dia marah dan bersedih. Upaya menemukan Jalatong dan gerombolan liarnya tidak membuahkan hasil hingga tahun 1960-an.
Menikah dan Pindah ke Sidimpuan
Selama cuti di kampung, Mahidin Pohan juga mendengar bahwa Timbul Pardede pernah berpacaran dengan seorang gadis bernama Basonta Rambe dari sebuah desa di kaki gunung Dolok Suanon. Barangkali karena didorong rasa sayang tersembunyi kepada sang abang, Mahidin Pohan mencoba menemui dan berkenalan dengan gadis itu.
Perkenalan itu nampaknya membuat Mahidin Pohan kasmaran. Tetapi, beruntung dia tidak bertepuk sebelah tangan. Basonta Rambe ternyata juga menerima cinta Mahidin Pohan. Mereka pun menikah.
Setelah menikah, Mahidin Pohan tinggal di asrama militer di Sidimpuan. Tidak terlalu banyak yang diketahui mengenai kisah hidupnya selama di Sidimpuan. Dia adalah kepala asrama para pejuang tahun 45. Kemudian, awal tahun 1960 dia dan keluarganya pindah ke Medan.
Pengalaman hidup yang penuh taruhan nyawa telah menempa karakter Mahidin Pohan menjadi sangat keras. Jika tidak sesuai dengan kata hatinya, dia akan marah dan jika perlu berkelahi. Tidak peduli dengan siapa saja, atasan ataupun bawahan.
Dia nampaknya sedikit canggung menjalani hidup dalam masa damai. Awal tahun 1960, Mahidin Pohan jadi pimpinan Serikat Pengusaha Bus Kota Medan (GOM-Gabungan Otobus Medan). Hidup di kalangan preman di pusat kota Medan mempunyai dinamika dan tantangannya sendiri. Situasi Medan ketika itu masih sangat kental dengan seruan khasnya, "Ini Medan, Bung!" Apa saja bisa terjadi.
Setelah itu, dia dipercaya menjadi Ketua Harian Korps Cacat Veteran Sumatera Utara dan tinggal di asrama pejuang di jalan Gatot Subroto (sekarang Kodam Bukit Barisan).
Peristiwa 1965
Tahun 1965, dia aktif dalam gerakan kesatuan aksi menumpas PKI di Sumatera Utara, bersama tokoh pemuda Pendi Keling dan Sahat Gurning. Banyak korban tewas dalam peristiwa berdarah tahun 1965 itu . Rumah tahanan PKI di Jalan Sena, Sungai Ular, dan kantor pemuda di Jalan M. Yamin menjadi saksi bisu tragedi kemanusiaan.
Mahidin Pohan selalu datang ke Kantor Jalan M. Yamin. Meski begitu, dia mengaku tidak pernah membunuh para korban. Menurutnya, banyak di antara para korban sesungguhnya adalah warga sipil tak berdosa, terlepas dari latar belakang keyakinan atau ideologi politiknya.
Sebaliknya, dia mengaku pernah menyelamatkan nyawa di Kantor M. Yamin. Ketika itu, seorang lelaki dibawa paksa sekelompok pemuda ke kantor itu. Lelaki itu yang akhirnya dikenal dengan nama Singgosing, dituduh pernah terlibat sebuah kampanye yang disponsori PKI. Ketika diseret dan akan digorok, Mahidin Pohan berbicara dengan lelaki itu. Hasil pembicaraan dengan Mahidin Pohan diketahui bahwa pemuda malang itu ternyata korban fitnah. Upaya pembantaian yang gagal itu ternyata semata-mata dilatarbelakangi persaingan asmara antara Singgosing dan seorang anggota organisasi pemuda di Pasar Pagi, Kampung Durian, Medan.
Masa Orde Baru
Sukses menumpas PKI, para pemuda aksi tampil bagaikan pemenang perang. Sebagai "tangan" militer di kesatuan aksi, Mahidin Pohan cukup disegani. Tokoh pemuda seperti Ucok Mayestik, Bomer Pasaribu dan sebagainya termasuk yang paling sering mengunjungi Mahidin Pohan. Bomer Pasaribu nampak paling dekat, bahkan pernah tinggal di rumah Mahidin Pohan.
Peristiwa G 30 S PKI yang berdarah dan rangkaian gerakan anti-cina yang mengikutinya, membuat banyak turunan Cina trauma. Mereka sangat takut dituduh PKI. Bagi mereka, tuduhan semacam itu sangat berisiko. Nyawa dan harta bisa segera melayang. Mayat mengambang di Sungai Deli, Gedung Baperki dan sejumlah sekolah milik turunan Cina dirampas.
Strategi paling jitu untuk menyelamatkan diri adalah meminta perlindungan dari tokoh yang berpengaruh di kota Medan. Pelindung yang dicari umumnya dari kalangan militer dan tokoh pemuda aksi. Dalam situasi semacam itu, Mahidin Pohan nampak mempunyai hubungan dekat dengan Yap Eng Kui alias Acai dan Budiman.
Acai lahir tahun 1932 sebagai anak pedagang beras dari Sei Rampah. Di Jakarta, Acai yang lebih dikenal dengan nama Endang Wijaya pada akhir tahun 1970 sempat bikin heboh dengan kasus manipulasi kredit atau kasus Pluit. Dalam kasus itu, dia terbukti menyuap sejumlah pejabat dengan memberi 7 mobil, dan 12 rumah mewah lengkap dengan perabotnya.
Pada awal 1970-an, Mahidin Pohan dan Acai membuka tempat judi di bagian belakang Gedung Bukit Barisan, Medan. Tepat di jalan antara Gedung Bukit Barisan dengan Merdeka Esplanade (kini Merdeka Walk), Mahidin Pohan membuka pasar malam “Pangci Fair” yang dilengkapi dengan permainan judi ketangkasan “ si batu goncang” Kim Stone. Pasar Malam yang sama juga dibuka di Kota Siantar, 100 km sebelah Timur Kota Medan.
Anak medan yang mengubah rawa Pluit jadi perumahan mewah itu meninggal pada 13 April 2006 di RS National University of Singapore.
Sementara itu, Budiman adalah pendiri dan pemilik hotel Polonia Medan. Hubungannya dengan Mahidin Pohan sebelum awal 1980 tidak begitu banyak diketahui. Tetapi di awal 1980, Mahidin Pohan dan Budiman yang juga merupakan pemilik showroom mobil daihatsu, Capella, bekerjasama mendirikan perusahaan angkutan kota (angkot).
Mahidin Pohan sudah hampir 35 tahun menjadi Ketua Korps Cacat Veteran Republik Indonesia (KCVRI) Sumatera Utara . Periode masa jabatan yang amat panjang, bahkan lebih panjang dari masa jabatan Presiden Suharto.
Tahun 1998, Mahidin Pohan dipercaya menjadi Ketua I KCVRI. Karena itu, dia harus pindah ke Jakarta. Di Jakarta, dia tinggal di jalan Tambak, Jakarta Pusat.
Dua tahun kemudian, melalui sebuah Musyawarah Nasional KCVRI di Jakarta, dia terpilih menjadi Ketua Umum. Sebuah jabatan yang tahun 1980-an dipegang oleh seorang jenderal yang dihormatinya, Bambang Utoyo.
Menanggapi aksi demonstrasi yang mulai marak kembali di awal 2001, Mahidin Pohan selaku Ketua Umum Cacat Veteran RI pernah menjumpai Wapres Megawati dan mendesak pemerintah segera membenahi kinerjanya. Menurut Mahidin Pohan, berbagai aksi demonstrasi yang marak adalah akibat buruknya kinerja pemerintahanan (Tempo Interaktif) .
Tahun 2004, masa tugasnya sebagai Ketua Umum KCVRI berakhir. Lalu, dia kembali ke Medan.
Mahidin Pohan Kini
Setelah kembali ke Medan, kesehatan Mahidin Pohan mulai menurun. Tahun 2005 dia kena strok ringan. Kini dia tidak lagi bisa bicara dengan lancar. Jika dikunjungi, dia lebih banyak diam dan mendengarkan sembari tersenyum.
Pada perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2009, beberapa wartawan dan tokoh pemuda datang menjenguknya. Tetapi dia tidak berbicara.
Orang yang dulu sangat gagah itu, kini cuma duduk di kursi roda, sambil menanti anak dan cucunya menjenguk.
Masa Kecil
Mahidin Pohan lahir di kota kecil, Sipirok, Tapanuli Selatan pada tahun 1926. Dia lahir sebagai anak kedua dari delapan bersaudara.
Sebelum menjadi tentara Jepang, dia sejatinya bernama Makdin atau Makdin Pardede. Nama Mahidin Pohan diisbatkan padanya setelah dia resmi mendaftar jadi tentara Jepang tahun 1943.
Di masa kecil, Mahidin Pohan sebetulnya punya bakat bisnis, mungkin dia peroleh dari kedua orangtuannya yang pedagang. Di usia yg masih belia, 14 tahun, dia bahkan telah diutus memimpin rombongan pedagang ke Kota dingin, Siborong-borong, yang berjarak kurang lebih 100 km dari kota asalnya, Sipirok. Mereka datang dengan menunggang kuda untuk memasok kebutuhan logistik tentara Belanda di kota itu.
Ketika itu nampaknya Mahidin Pohan muda belum punya kesadaran tentang imperialisme, kolonialisme dan penindasan. Kehadiran Belanda di Siborong-borong, dalam pandangan remaja 14 tahun itu barangkali masih dilihat sebagai mitra bisnis biasa yang bersifat saling menguntungkan. Lagi pula, di desanya dia sudah biasa berhubungan dengan orang belanda dalam bentuknya yang ramah, penginjil dan guru-guru di sekolah adventis.
Baginya, kesadaran akan kolonialisme dan panggilan untuk membela tanah air justru muncul pada masa Jepang. Tentara Jepang yang mengaku sebagai "Saudara tua " itu begitu pandai menarik simpati kaum muda tapanuli dan menumbuhkan semangat bela negara.
Zaman Penjajahan Jepang
Saudara lelaki tertuanya, Timbul Pardede, lebih dulu mendaftar jadi tentara Jepang dan langsung ditugaskan di Medan. Berapa waktu kemudian, Mahidin Pohan ikut bergabung dengan tentara Jepang dan juga ditugaskan di Medan.
Di Kota Medan, dia tentu saja bertemu dengan abangnya, Timbul Pardede. Menurut cerita, hubungan kedua orang ini ibarat kucing dan tikus. Mereka selalu cekcok dan bahkan tidak jarang beradu fisik. Meski Timbul tinggi besar dan sangat disegani di lingkungannya, Mahidin Pohan nampaknya tidak bersedia mengalah. Watak keras keduanya membuat mereka selalu bersaing dan tidak pernah berdamai.
Nuansa persaingan di antara abang-beradik ini terus terbawa sampai di Tanah Deli. Menyadari sang adik mendapat pangkat lebih tinggi, Timbul Pardede merasa kecil hati. Singkat cerita, Timbul Pardede tidak lagi betah berada di Medan. Lalu, dia memutuskan untuk desersi dari pasukan.
Setelah desersi, Timbul Pardede bergabung dengan laskar “Harimau Liar.” Pada zaman revolusi sosial di Sumatera Timur, Timbul Pardede dan pasukannya sempat bertempur dengan pasukan Mahidin Pohan yang tengah mengamankan keluarga bangsawan dari pembantaian massa di Rantau Prapat.
Timbul Pardede meninggal secara tragis di sebuah desa kecil di kaki Bukit Barisan. Sebuah desa perlintasan pejuang yang hingga kini hanya dapat diakses melalui jalan setapak. Ketika sedang mandi, dia dibantai secara pengecut oleh bekas penjagal Jepang bernama Jalatong. Kepalanya terpisah dari badan dan kuburannya ditemukan bertahun-tahun kemudian.
Indonesia Merdeka dan Agresi Belanda
Di Medan, Mahidin Pohan menjalankan tugas sebagai tentara Jepang. Tidak terdengar cerita tentang adanya perselisihan antara tentara pribumi dan tentara Jepang. Dia bahkan cukup disukai Jepang karena bakat militer dan kecepatannya dalam menguasai bahasa Jepang.
Setelah Jepang hengkang dari Indonesia, pemuda pejuang segera berhadapan langsung dengan Sekutu yang diam-diam membonceng masuk tentara NICA Belanda ke Indonesia. Dalam periode ini, Mahidin Pohan beberapa kali berpindah tugas antara lain di Kota Pinang, Rantau Prapat, Bagan Siapi-api, Pematang Siantar, Sidikalang, dan Medan.
Tertembak Belanda
Suatu ketika dalam sebuah operasi di pagi subuh, pasukan TKR di bawah komando Mahidin Pohan melakukan kontak senjata dengan Belanda di sekitar batas demarkasi. Peristiwa itu terjadi di seberang jembatan Marindal, tepat di depan kantor PTP.
Pasukan TKR mencoba merangsek masuk ke wilayah musuh. Serangan kilat pada dini hari itu berhasil menewaskan sejumlah tentara Belanda. Dia menyaksikan tentara Belanda jatuh bergelimpang diterjang peluru dari “sinapang masin” di tangannya.
Namun, dominasi TKR tidak berlangsung lama. Bala bantuan tentara Belanda segera datang. Dengan jumlah yang lebih besar, Belanda berhasil memukul mundur pasukan TKR. Dua anggota TKR tewas dalam baku tembak. Mahidin Pohan sendiri tertembak di bagian lengan. Peluru tajam menembus pergelangan tangan kirinya.
Dalam rangkaian pertempuran sepanjang hari itu, banyak pejuang yang tewas. Salah satunya adalah Martinus Lubis. Hari itu merupakan hari bersejarah. Di kemah perawatan, Jasad Martinus Lubis terbaring kaku. Di sebelahnya, Mahidin Pohan bertahan hidup dengan urat nadi yang terus mengucurkan darah.
Belanda Pergi, Tentara Pulang Kampung
Luka tembak di lengan kiri cukup parah. Bagian pergelangan tangannya nyaris putus. Namun Pemuda lajang itu sangat bersyukur mengetahui lengan kirinya batal diamputasi.
Bangsa Indonesia terus melakukan perlawanan terhadap agresi Belanda. Pemuda di seluruh nusantara dengan heroik melakukan perlawanan bersenjata. Aksi militer dikombinasi dengan strategi diplomasi di tingkat internasional akhirnya berhasil mengusir penjajah Belanda dari bumi pertiwi. Mahidin Pohan diberi cuti dan kembali ke kampung halaman.
Dalam pada itu, Tentara Belanda telah meninggalkan Keresidenan Tapanuli dan Sumatera Timur. Di kampung halaman, Mahidin Pohan menjalani hidup sebagai rakyat sipil biasa. Mendengar abangnya telah tewas, bukan main dia marah dan bersedih. Upaya menemukan Jalatong dan gerombolan liarnya tidak membuahkan hasil hingga tahun 1960-an.
Menikah dan Pindah ke Sidimpuan
Selama cuti di kampung, Mahidin Pohan juga mendengar bahwa Timbul Pardede pernah berpacaran dengan seorang gadis bernama Basonta Rambe dari sebuah desa di kaki gunung Dolok Suanon. Barangkali karena didorong rasa sayang tersembunyi kepada sang abang, Mahidin Pohan mencoba menemui dan berkenalan dengan gadis itu.
Perkenalan itu nampaknya membuat Mahidin Pohan kasmaran. Tetapi, beruntung dia tidak bertepuk sebelah tangan. Basonta Rambe ternyata juga menerima cinta Mahidin Pohan. Mereka pun menikah.
Setelah menikah, Mahidin Pohan tinggal di asrama militer di Sidimpuan. Tidak terlalu banyak yang diketahui mengenai kisah hidupnya selama di Sidimpuan. Dia adalah kepala asrama para pejuang tahun 45. Kemudian, awal tahun 1960 dia dan keluarganya pindah ke Medan.
Pengalaman hidup yang penuh taruhan nyawa telah menempa karakter Mahidin Pohan menjadi sangat keras. Jika tidak sesuai dengan kata hatinya, dia akan marah dan jika perlu berkelahi. Tidak peduli dengan siapa saja, atasan ataupun bawahan.
Dia nampaknya sedikit canggung menjalani hidup dalam masa damai. Awal tahun 1960, Mahidin Pohan jadi pimpinan Serikat Pengusaha Bus Kota Medan (GOM-Gabungan Otobus Medan). Hidup di kalangan preman di pusat kota Medan mempunyai dinamika dan tantangannya sendiri. Situasi Medan ketika itu masih sangat kental dengan seruan khasnya, "Ini Medan, Bung!" Apa saja bisa terjadi.
Setelah itu, dia dipercaya menjadi Ketua Harian Korps Cacat Veteran Sumatera Utara dan tinggal di asrama pejuang di jalan Gatot Subroto (sekarang Kodam Bukit Barisan).
Peristiwa 1965
Tahun 1965, dia aktif dalam gerakan kesatuan aksi menumpas PKI di Sumatera Utara, bersama tokoh pemuda Pendi Keling dan Sahat Gurning. Banyak korban tewas dalam peristiwa berdarah tahun 1965 itu . Rumah tahanan PKI di Jalan Sena, Sungai Ular, dan kantor pemuda di Jalan M. Yamin menjadi saksi bisu tragedi kemanusiaan.
Mahidin Pohan selalu datang ke Kantor Jalan M. Yamin. Meski begitu, dia mengaku tidak pernah membunuh para korban. Menurutnya, banyak di antara para korban sesungguhnya adalah warga sipil tak berdosa, terlepas dari latar belakang keyakinan atau ideologi politiknya.
Sebaliknya, dia mengaku pernah menyelamatkan nyawa di Kantor M. Yamin. Ketika itu, seorang lelaki dibawa paksa sekelompok pemuda ke kantor itu. Lelaki itu yang akhirnya dikenal dengan nama Singgosing, dituduh pernah terlibat sebuah kampanye yang disponsori PKI. Ketika diseret dan akan digorok, Mahidin Pohan berbicara dengan lelaki itu. Hasil pembicaraan dengan Mahidin Pohan diketahui bahwa pemuda malang itu ternyata korban fitnah. Upaya pembantaian yang gagal itu ternyata semata-mata dilatarbelakangi persaingan asmara antara Singgosing dan seorang anggota organisasi pemuda di Pasar Pagi, Kampung Durian, Medan.
Masa Orde Baru
Sukses menumpas PKI, para pemuda aksi tampil bagaikan pemenang perang. Sebagai "tangan" militer di kesatuan aksi, Mahidin Pohan cukup disegani. Tokoh pemuda seperti Ucok Mayestik, Bomer Pasaribu dan sebagainya termasuk yang paling sering mengunjungi Mahidin Pohan. Bomer Pasaribu nampak paling dekat, bahkan pernah tinggal di rumah Mahidin Pohan.
Peristiwa G 30 S PKI yang berdarah dan rangkaian gerakan anti-cina yang mengikutinya, membuat banyak turunan Cina trauma. Mereka sangat takut dituduh PKI. Bagi mereka, tuduhan semacam itu sangat berisiko. Nyawa dan harta bisa segera melayang. Mayat mengambang di Sungai Deli, Gedung Baperki dan sejumlah sekolah milik turunan Cina dirampas.
Strategi paling jitu untuk menyelamatkan diri adalah meminta perlindungan dari tokoh yang berpengaruh di kota Medan. Pelindung yang dicari umumnya dari kalangan militer dan tokoh pemuda aksi. Dalam situasi semacam itu, Mahidin Pohan nampak mempunyai hubungan dekat dengan Yap Eng Kui alias Acai dan Budiman.
Acai lahir tahun 1932 sebagai anak pedagang beras dari Sei Rampah. Di Jakarta, Acai yang lebih dikenal dengan nama Endang Wijaya pada akhir tahun 1970 sempat bikin heboh dengan kasus manipulasi kredit atau kasus Pluit. Dalam kasus itu, dia terbukti menyuap sejumlah pejabat dengan memberi 7 mobil, dan 12 rumah mewah lengkap dengan perabotnya.
Pada awal 1970-an, Mahidin Pohan dan Acai membuka tempat judi di bagian belakang Gedung Bukit Barisan, Medan. Tepat di jalan antara Gedung Bukit Barisan dengan Merdeka Esplanade (kini Merdeka Walk), Mahidin Pohan membuka pasar malam “Pangci Fair” yang dilengkapi dengan permainan judi ketangkasan “ si batu goncang” Kim Stone. Pasar Malam yang sama juga dibuka di Kota Siantar, 100 km sebelah Timur Kota Medan.
Anak medan yang mengubah rawa Pluit jadi perumahan mewah itu meninggal pada 13 April 2006 di RS National University of Singapore.
Sementara itu, Budiman adalah pendiri dan pemilik hotel Polonia Medan. Hubungannya dengan Mahidin Pohan sebelum awal 1980 tidak begitu banyak diketahui. Tetapi di awal 1980, Mahidin Pohan dan Budiman yang juga merupakan pemilik showroom mobil daihatsu, Capella, bekerjasama mendirikan perusahaan angkutan kota (angkot).
Mahidin Pohan sudah hampir 35 tahun menjadi Ketua Korps Cacat Veteran Republik Indonesia (KCVRI) Sumatera Utara . Periode masa jabatan yang amat panjang, bahkan lebih panjang dari masa jabatan Presiden Suharto.
Tahun 1998, Mahidin Pohan dipercaya menjadi Ketua I KCVRI. Karena itu, dia harus pindah ke Jakarta. Di Jakarta, dia tinggal di jalan Tambak, Jakarta Pusat.
Dua tahun kemudian, melalui sebuah Musyawarah Nasional KCVRI di Jakarta, dia terpilih menjadi Ketua Umum. Sebuah jabatan yang tahun 1980-an dipegang oleh seorang jenderal yang dihormatinya, Bambang Utoyo.
Menanggapi aksi demonstrasi yang mulai marak kembali di awal 2001, Mahidin Pohan selaku Ketua Umum Cacat Veteran RI pernah menjumpai Wapres Megawati dan mendesak pemerintah segera membenahi kinerjanya. Menurut Mahidin Pohan, berbagai aksi demonstrasi yang marak adalah akibat buruknya kinerja pemerintahanan (Tempo Interaktif) .
Tahun 2004, masa tugasnya sebagai Ketua Umum KCVRI berakhir. Lalu, dia kembali ke Medan.
Mahidin Pohan Kini
Setelah kembali ke Medan, kesehatan Mahidin Pohan mulai menurun. Tahun 2005 dia kena strok ringan. Kini dia tidak lagi bisa bicara dengan lancar. Jika dikunjungi, dia lebih banyak diam dan mendengarkan sembari tersenyum.
Pada perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2009, beberapa wartawan dan tokoh pemuda datang menjenguknya. Tetapi dia tidak berbicara.
Orang yang dulu sangat gagah itu, kini cuma duduk di kursi roda, sambil menanti anak dan cucunya menjenguk.
Tiada yang tahu sungguh berat perjuanganmu pak demi negara dan keluarga
ReplyDeleteNice story
ReplyDeletebaru baca , hormat untuk nenek besar..
ReplyDelete